4 Mar 2014

tidak hanya sekedar menikah

Assalamualaikum ^^

Kali ini nadia mau ngeshare cerita si deni yang menceritakan tentang temannya zen dan menarik untuk aku tulis malam ini di simak yaa ^^

Namanya zen, ia temanku yang allah karuniai paras rupawan. Usianya terbilang muda dengan posisi strategis di salah satu perusahaan milik Negara, wanita mana yang tidak tertarik kepadanya. Bahkan tak jarang seorang ibu atau bapak “menawarkan” putrinya untuk dinikahi zen. Namun seperi biasa, zen mengabaikannya.

Hampir dua tahun saya mengenalnya. Dalam waktu itu pula, kesehariannya hanya ia lewati tidak lebih dari lima lokasi. Kantor tempat ia bekerja, restoran tempat ia makan, toko serba ada di sebrang kantor, lembaga kursus bahasa, dan masjid tempat ia berlama-lama. Entah apa yang di pikirkan dan di lakukannya di masjid itu. Khususnya hari libur, ia bisa habiskan waktunya dengan diam di masjid.

Buku dan majalah bertema social-spiritual menumpuk di salah satu sudut kamarnya. Kadang saya melihat kamarnya terbuka, sedangkan ia tertidur dengan majalah serta buku berserakan di atas tempat tidurnya.
Jika kebetulan saya lewat kamarnya, dan ia sedang mengerjakan sesuatu, ia pasti menawari saya masuk untuk sekedar membicarakan pekerjaan, lingkungan sekitar, dan tak jarang saya pun terpancing untuk menyinggung masalah pernikahan.

Beberapa kali singgunganku ia jawab dengan senyuman kecil, namun waktu itu dirinya merespon dengan jawaban yang berbeda. Ia berkata, “den, ketahuilah, pernikahan itu bukan hanya masalah waktu, tapi juga masalah tanggung jawab.” Tidak ada kalimat lanjutan setelah itu
.
Saya diam, pertanda setuju, tapi sekaligus juga bingung, karena pasti ada makna yang lebih dalam yang zen pahamidari sekedar yang saya mengerti ketika saya mendengarnya. Sungguh ia pendiam pada waktunya, dan bicara tepat pada waktunya pula. Setiap kalimat yang keluar darinya kusangka hasil dari pemikiran yang menjadi prinsip menjalani hidupnya.  Budaya membaca dan takafur yang tinggi, serta aktif bermajlis ta’lim, mungkin yang membuat ia seperti ini.

“Zen, boleh saya tau apa maksud perkataanmu itu?” saya bertanga lebih hati-hati dengan nada menyelidik.
“sebelumnya saya tidak ingin mengupas ini lebih jauh, tapi tidak mengapa untuk kali ini. Saya mohon kepada allah SWT semoga pembicaraan kita ini dinilai mudzakarah”: jawab zen.

“saya pernah punya teman namaya adam, ia meminta doa kepada gurunya ketika ia hendak menikahi kawan santriwati satu pondok. Setelah itu percakapan pun terjadi diantara mereka. Begini cerita lenngkapnya” kata zen. Lalu ia pun bercerita.
“adam itu tidak tahu apa-apa, yang tahu hanya allah” begitulah kalimat yang keluar dari gurunya yang sekaligu pemimpin pondok pesantren di suatu kota di jawa tengah.
Beliau melanjutkan dengan sebuah tamsil, “jika ada sebuah pabrik motor yang telah memproduksi beberapa jenis motor, dan pabrik itu juga memiliki pengetahuan tentang kriteria calon konsumennya, ketika datang calon konsumen, yang lebih tahu motor mana yang cocok untuknya bukan calon konsumennya, melainkan pabriknya.
Calon konsumen hanya mempertimbangkan factor-faktor yang terlihat saja dari beberapa jenis motor yang di pajang. Tapi sebenarnya, pabrik itu telah memproduksi satu jenis motor yang memang di khususkan untuk masing-masing kriteria, termasuk kriteria calon konsumen tersebut.
Namun karena calon konsumen tidak bertanya, motor mana yang pantas untuk dia, pihak pabrikpun diam tidak memberikan saran atas kebutuhannya itu, dan bisa jadi motor yang calon konsumen pilih lebih mahal harganya, sehingga lebih menguntungka bagi pihak pabrik motor”
Tidak lama berselang, putra gurunya yang yang akrab di panggil “Gus” bertanya kepada sendi, yang waktu itu mengantar adam.
“sen, kalau kamu mau menikah kapan?” tanyanya
“insya allah tiga tahun lagi, gus” jawab sendi.

kalau begitu, mulai dari sekarang sampai tiga tahun ke depan, sebaiknya kamu jangan terlalu mikirin perempuan lain kecuali ibumu” saran gus.

“ketika kamu mulai memikirkan lalu mencari langsung calonmu dalam waktu tiga tahun ke depan, kamu akan banyak lupa tugas utamamu. Kamu akan disibukkan dengan seleksi dari satu perempuan ke perempuan lain, dan waktumu untuk mengabdi serta meningkatka taqwamu (yang itu tugas utama manusia) akan otomatis terkurangi.
Padahal jika kamu tetap dengan tugas utamamu, yaitu meningkatkan taqwa, dan mengurangi memikirkan perempuan di dalam hatimu selama tiga tahun kedepan, Allah yang menugaskan kamu meningkatkan taqwa, akan mempersiapkan untukmu sebaik-baiknya perempuan, Tanpa harus kamu melibatkan langsung dan menghabiskan waktu untuk urusan tersebut."
"Jika kamu berhasil, perempuan itu adalah murni dari Allah SWT, tanpa tercampur hawa nafsu rendahmu” kata Gus menatap seolah menerangkan apa maksud dari perkataan ayahnya.
“ketika berlagak tahu menentukan calonmu, kamu seakan-akan seperti datang ke pabrik motor, tanpa Tanya ini dan itu, kamu langsung menentukan pilihan dan membelinya. Apa itu tindakan yang sehat? Tentunya kurang sehat kan?” Gus memang bermaksud menerangkan apa yang dikatakan ayahnya.
“kamu seakan-akan menjadi mulia dengan berhak menilai dan menentukan bahwa ini cocok, yang itu tidak cocok, yang ini jelek, yang itu cakep tapi tidak baik. Waktumu tersedot percuma, padahal belum tentu umurmu belum tentu sampai tiga tahun lagi” ujar Gus.

Kemudian zen pun berkata kembali dengan helaan nafas yang agak dalam, “saya ini tidak terlalu mulia untuk memilih, dan terlalu hina untuk dipilih. Dan saya tidak ingin kehilangan Allah karena sesuatu. Akan lebih baik kehilangan sesuatu karena Allah. Itulah kesimpulanku dari pengalaman temanku.

"Situasi yang sekarang Allah SWT suguhkan dihadapan saya cukup mengundang saya untuk melatih ego diri” Zen melanjutkan.
“Maksudnya?” sayapun memotong
“saya ini anak bungsu, saudara saya sudah berkeluarga semua, dan saya pikir ayah saya sudah tidak sepantasnya untuk terus mencari rizqi di usianya sekarang, dan di lain hal usahanya memang sudah masuk masa decline. Ketika saya diterima diperusahaan ini, saya telah memutuskan untuk ‘mempensiunkan’ ayah saya dan memanjakan orang tua saya seperti mereka memanjakan saya dulu. Mungkin saudara-saudara saya sudah sibuk dengan keluarganya masing-masing. Allah buat saya lahir belakangan, untuk berbuat apa yang tidak diperbuat oleh saudara-saudara saya."

"Melawan ego itu berat, Den, tapi sungguh jalan keselamatan orang itu berbeda-beda. Ada yang dengan kemiskinannya ia selamat, tapi ada juga dengan kekayaannya ia juga selamat. Ada yang dengan bekerja ia selamat, tapi ada juga orang yang dengan ststus menganggurnya ia selamat, karena ia terus mendekatkan diri kepada Tuhannya, yang ia yakini sebagai sumber pengabulan hajatnya untuk bekerja. Jadi di titik mana kamu berada itu bukan hal penting, namun seberapa jauh hubunganmu dengan penciptamu di titik itu, itulah titik pentingnya.

"Maksudmu ada orang yang sudah menikah selamat, tapi ada juga orang yang dengan status singlenya juga selamat. Tergantung apa yang dilakukan pada masing-masing status tersebut. Begitu ya?” saya coba menegaskan.
Zen pun mengangguk, “Tapi ingat, menikah itu memiliki beberapa keutamaan daripada tidak menikah,” zen melanjutkan.
“disisi lain, saya pun baru lewat satu tahun dari usia nabi kita menikah, jadi mungkin masih wajar jika saya mengabaikan ‘penawaran’ dari beberapa orang” kata Zen diakhiri dengan senyuman khasnya.
Saya pun ikut tersenyum, lalu saya menggodanya, “ terus, bagaimana dengan syahwat, bukannya di usiamu sekarang hal itu sedang menggelegak-gelegaknya?”
“Husssh, emangnya lahar menggelegak,” Zen memotong dan melanjutkan, “pernikahan bukanlah obat untuk untuk mengelak dari maksiat kemaluan seperti zina, itu adalah satu bentuk penyempurnaan tuntutan fithrah manusia. Pasangan hidup adalah anugrah, ketentraman adalah anugrah, cinta adalah anugrah, kasih adalah anugrah, sayang adalah anugrah, yang semuanya adalah fithrah yang didambakan oleh setiap manusia, yang ingin mencinta dan dicinta, ingin menyayangi dan disayangi. Namun apabila fitrah masih juga dicemari  oleh nafsu rendah, pernikahan tidak akan mampu mencegah maksiat, hatta sampai empat istri sekalipun. Bahkan kita sering mendengar seorang pria yang sudah beristri masih ‘jajan’ pula dengan perempuan lain? Yang mampu mencegah zina adalah iman di hati dan fikiran. Jika itu dicapai tanpa nikah pun seseorang itu mampu menjauhi maksiat. Puasa mampu mencegah maksiat bukan karena tidak makan dan minum, namun karena keimanan seseorang itu bertambah lalu kuatlah taqwa dan pikiran akhiratnya."

"Hidupku untuk hari ini sekaligus untuk akhiratku, aku lakukan terus yang terbaik tiap hari, karena aku tidak tahu besok atau lusa aku masih ada di sini atau sudah tiada. Sekarang momennya memanjakan orangtua, maka ku khidmahkan diriku untuk itu. Walaupun jika sudah tiba waktunya nanti aku menikah, mereka akan tetap menjadi perhatianku. Bukankah seorang laki-laki itu sepanjang hidupnya untuk menomersatukan ibunya? Dan sisa umur perempuan setelah menikah untuk menomersatukan suaminya? Ah... sungguh indah aturan islam ini,”

"Sungguh, den, saya tidak ingin menikah hanya karena dorongan syahwat. Saya tidak ingin rumah tanggaku berjalan tanpa visi dan rentetan misi. Visiku adalah bertemu Allah SWT dengan ridha dan diridhai, salah satu misinya adalah berumah tangga. Namun ketika kita belum siap bekalnya, misi akan mengaburkan visi,” kata zen.

“Kita mungkin masih melihat, seorang istri keluar tanpa hijab, tanpa merasa berdosa. Begitupun suami tidak merasa bahwa itu adalah bagian dari tanggung jawabnya. Ketidakpekaan seperti ini akibat kurang ilmu. Bagi mereka yang penting nikah, setelah itu berjalanlah seperti air. Tidak ada bengkeljasadi, apalagi ruhani di dalamnya.
Tidak sedikit, dengan adanya pernikahan, hidup seseorang menjadi semerawut, shalat telat bahkan ditinggal, dengan alasan sibuk bekerja, jadi berani menipu, membawa rizqi syubhat bahkan haram ke rumahnya, dan lain-lain. Bahkan saya pernah dengar curhat bahwa dirinya sedang dalam ancaman istrinya. Sungguh aku tidak habis pikir, kok ada dan bisa seorang istri mengancam suaminya, ataupu sebaliknya seorang suami berlaku kasar kepada istrinya? Dan jika ditanyakan alasannya, semua dilakukan dengan alasan untuk keluarga. Mungkin jadi pertanyaan lanjutan, keluarga yang mana? Jawabannya, keluarga yang aktivitasnya didasarkan pada hawa nafsu rendah tadi, keluarga yang berstandarkan gengsi, bukan berstandarkan fungsi.
Untuk mengetahui fungsi masing-masing suami dan istri, tidak ada jalan lain melainkan dengan ilmu yang telah dibawa sempurna oleh nabi kita, Muhammad SAW, dan ilmu itu di dapat ketika kita mau belajar. Oleh karena itu kupersiapkan ilmunya dari sekarang,” kata zen.

:Apalagi jika kita menghubungkannya dengan bagaiman seharusnya mendidik anak, akan lebih kompleks lagi. Habib umar bin hafidz pernah berkata bahwa setiap manusia memiliki kewajiban untuk menjelaskan kepada yang lainnya ihwal amanat Allah yang harus diemban. Namun yang paling berkewajiban dalam hal ini adalah orang tua terhadap anaknya”.
“amanat apa itu zen? Saya memotong.
“menjadi khalifah di muka bumi den. Habib umar melanjutkan bahwa, jika setiap orang tua mengajari anaknya dan mempersiapkan diri mereka untuk memikul amanat ini, dunia akan menjadi tentram dan aman, karena rahmat Allah akan diturunkan kepada mereka. Nah, bagaimana bisa seorang anak mengerti apa arti amanat penciptaannya jika orangtuanya sendiri mengabaikan hal itu?”
“sungguh rumah tangga itu ibarat surga bocor. Surga belum surga sebenarnya. Karena allah SWT telah berfirman bahwa istri-istri itu diciptakan supaya kita tentram. Jika dalam sebuah pernikahan kita tidak menemukan nilai-nilai surga, ada yang perlu di koreksi di dalamnya.
Istri yang kita nikahi nanti tidaklah semulia khadijah, tidaklah setakwa aisyah, dan tidak setabah Fatimah. Justru istri hanyalah wanita akhir zaman yang harus punya cita-cita nmenjadi shalihah. Dan kusadari juga, diriku bukan Muhammad bin Abdullah, bukan pula Ali bin Abi thalib. Aku hanyalah laki-laki yang sedang belajar mengenali dan mencintai kepribadian merekayang mulia, dan berharap ketika aku menikah akan dipasangkan dengan pasangan yang sedang berusaha pula mendekati kepribadian mereka, wanita termulia.

Oh iya, aku punya joke tentang ini” kata zen.
“apa itu?” aku langsung sumringah dan penasaran setelah dari tadimendengar ucapan-ucapannya yang begitu dalam.
“jadi ini tentang dialog si A dan saya ya” kata zen sambil senyum-senyum.
A: “Zen, mau nikah ya?”
Zen: “Insya allah maulah, kan sunnah Rasulullah”.
A:”sudah punya calon?”
Zen: “Alhamdulillah sudah”
A: “ siapa dia?”
Zen: “insya Allah dia adalah perempuan pilihan allah”
A: “mengapa mau nikah sama dia?”
Zen: “”insya allah memilih dia karena allah”
A: “bagaimana nanti ketemunya?””
Zen: “yakin saja, allah punya cara yang tidak pernah kita duga. Percaya saja sama allah.”
A: “lah kapan dong nikahnya?”
Zen: Hmmm… allah mahatahu kok kapan waktu yang tepat dan terbaik”
A: “terus dimana ketemunya?”
Zen: “ tenang… masih di bumi Allah kok, kalau toh memang tidak di dunia insya allah di surga-Nya”
A: “jadi…”
Zen: “serahkan kepada allah saja, niatka untukmenggapai ridha-Nya semata. Insya allah beres”

“whahahhaha…” aku langsung tertawa mendengarnya. “zen… zen… ada-ada saja. Sungguh aku emndapat pengalaman baru. Terima kasih zen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar