Assalamualaikum ^^
Kali ini nadia mau ngeshare cerita si deni yang menceritakan tentang temannya zen dan menarik untuk aku tulis malam ini di
simak yaa ^^
Namanya zen, ia temanku yang allah karuniai paras rupawan.
Usianya terbilang muda dengan posisi strategis di salah satu perusahaan milik
Negara, wanita mana yang tidak tertarik kepadanya. Bahkan tak jarang seorang
ibu atau bapak “menawarkan” putrinya untuk dinikahi zen. Namun seperi biasa,
zen mengabaikannya.
Hampir dua tahun saya mengenalnya. Dalam waktu itu pula,
kesehariannya hanya ia lewati tidak lebih dari lima lokasi. Kantor tempat ia
bekerja, restoran tempat ia makan, toko serba ada di sebrang kantor, lembaga
kursus bahasa, dan masjid tempat ia berlama-lama. Entah apa yang di pikirkan
dan di lakukannya di masjid itu. Khususnya hari libur, ia bisa habiskan waktunya
dengan diam di masjid.
Buku dan majalah bertema social-spiritual menumpuk di salah
satu sudut kamarnya. Kadang saya melihat kamarnya terbuka, sedangkan ia
tertidur dengan majalah serta buku berserakan di atas tempat tidurnya.
Jika kebetulan saya lewat kamarnya, dan ia sedang
mengerjakan sesuatu, ia pasti menawari saya masuk untuk sekedar membicarakan
pekerjaan, lingkungan sekitar, dan tak jarang saya pun terpancing untuk
menyinggung masalah pernikahan.
Beberapa kali singgunganku ia jawab dengan senyuman kecil,
namun waktu itu dirinya merespon dengan jawaban yang berbeda. Ia berkata, “den,
ketahuilah, pernikahan itu bukan hanya masalah waktu, tapi juga masalah
tanggung jawab.” Tidak ada kalimat lanjutan setelah itu
.
Saya diam, pertanda setuju, tapi sekaligus juga bingung,
karena pasti ada makna yang lebih dalam yang zen pahamidari sekedar yang saya
mengerti ketika saya mendengarnya. Sungguh ia pendiam pada waktunya, dan bicara
tepat pada waktunya pula. Setiap kalimat yang keluar darinya kusangka hasil
dari pemikiran yang menjadi prinsip menjalani hidupnya. Budaya membaca dan takafur yang tinggi, serta
aktif bermajlis ta’lim, mungkin yang membuat ia seperti ini.
“Zen, boleh saya tau apa maksud perkataanmu itu?” saya
bertanga lebih hati-hati dengan nada menyelidik.
“sebelumnya saya tidak ingin mengupas ini lebih jauh, tapi
tidak mengapa untuk kali ini. Saya mohon kepada allah SWT semoga pembicaraan
kita ini dinilai mudzakarah”: jawab zen.
“saya pernah punya teman namaya adam, ia meminta doa kepada
gurunya ketika ia hendak menikahi kawan santriwati satu pondok. Setelah itu
percakapan pun terjadi diantara mereka. Begini cerita lenngkapnya” kata zen.
Lalu ia pun bercerita.
“adam itu tidak tahu apa-apa, yang tahu hanya allah”
begitulah kalimat yang keluar dari gurunya yang sekaligu pemimpin pondok
pesantren di suatu kota di jawa tengah.
Beliau melanjutkan dengan sebuah tamsil, “jika ada sebuah
pabrik motor yang telah memproduksi beberapa jenis motor, dan pabrik itu juga
memiliki pengetahuan tentang kriteria calon konsumennya, ketika datang calon
konsumen, yang lebih tahu motor mana yang cocok untuknya bukan calon
konsumennya, melainkan pabriknya.
Calon konsumen hanya mempertimbangkan factor-faktor yang
terlihat saja dari beberapa jenis motor yang di pajang. Tapi sebenarnya, pabrik
itu telah memproduksi satu jenis motor yang memang di khususkan untuk
masing-masing kriteria, termasuk kriteria calon konsumen tersebut.
Namun karena calon konsumen tidak bertanya, motor mana yang
pantas untuk dia, pihak pabrikpun diam tidak memberikan saran atas kebutuhannya
itu, dan bisa jadi motor yang calon konsumen pilih lebih mahal harganya,
sehingga lebih menguntungka bagi pihak pabrik motor”
Tidak lama berselang, putra gurunya yang yang akrab di
panggil “Gus” bertanya kepada sendi, yang waktu itu mengantar adam.
“sen, kalau kamu mau menikah kapan?” tanyanya
“insya allah tiga tahun lagi, gus” jawab sendi.
“kalau begitu, mulai dari sekarang sampai tiga tahun ke
depan, sebaiknya kamu jangan terlalu mikirin perempuan lain kecuali ibumu” saran
gus.
“ketika kamu mulai memikirkan lalu mencari langsung calonmu
dalam waktu tiga tahun ke depan, kamu akan banyak lupa tugas utamamu. Kamu akan
disibukkan dengan seleksi dari satu perempuan ke perempuan lain, dan waktumu
untuk mengabdi serta meningkatka taqwamu (yang itu tugas utama manusia) akan
otomatis terkurangi.
Padahal jika kamu tetap dengan tugas utamamu, yaitu
meningkatkan taqwa, dan mengurangi memikirkan perempuan di dalam hatimu selama
tiga tahun kedepan, Allah yang menugaskan kamu meningkatkan taqwa, akan
mempersiapkan untukmu sebaik-baiknya perempuan, Tanpa harus kamu melibatkan
langsung dan menghabiskan waktu untuk urusan tersebut."
"Jika kamu berhasil, perempuan itu adalah murni dari Allah
SWT, tanpa tercampur hawa nafsu rendahmu” kata Gus menatap seolah menerangkan
apa maksud dari perkataan ayahnya.
“ketika berlagak tahu menentukan calonmu, kamu seakan-akan
seperti datang ke pabrik motor, tanpa Tanya ini dan itu, kamu langsung
menentukan pilihan dan membelinya. Apa itu tindakan yang sehat? Tentunya kurang
sehat kan?” Gus memang bermaksud menerangkan apa yang dikatakan ayahnya.
“kamu seakan-akan menjadi mulia dengan berhak menilai dan
menentukan bahwa ini cocok, yang itu tidak cocok, yang ini jelek, yang itu
cakep tapi tidak baik. Waktumu tersedot percuma, padahal belum tentu umurmu
belum tentu sampai tiga tahun lagi” ujar Gus.
Kemudian zen pun berkata kembali dengan helaan nafas yang
agak dalam, “saya ini tidak terlalu mulia untuk memilih, dan terlalu hina untuk
dipilih. Dan saya tidak ingin kehilangan Allah karena sesuatu. Akan lebih baik
kehilangan sesuatu karena Allah. Itulah kesimpulanku dari pengalaman temanku.
"Situasi yang sekarang Allah SWT suguhkan dihadapan saya
cukup mengundang saya untuk melatih ego diri” Zen melanjutkan.
“Maksudnya?” sayapun memotong
“saya ini anak bungsu, saudara saya sudah berkeluarga semua,
dan saya pikir ayah saya sudah tidak sepantasnya untuk terus mencari rizqi di
usianya sekarang, dan di lain hal usahanya memang sudah masuk masa decline. Ketika
saya diterima diperusahaan ini, saya telah memutuskan untuk ‘mempensiunkan’
ayah saya dan memanjakan orang tua saya seperti mereka memanjakan saya dulu. Mungkin
saudara-saudara saya sudah sibuk dengan keluarganya masing-masing. Allah buat
saya lahir belakangan, untuk berbuat apa yang tidak diperbuat oleh
saudara-saudara saya."
"Melawan ego itu berat, Den, tapi sungguh jalan keselamatan
orang itu berbeda-beda. Ada yang dengan kemiskinannya ia selamat, tapi ada juga
dengan kekayaannya ia juga selamat. Ada yang dengan bekerja ia selamat, tapi
ada juga orang yang dengan ststus menganggurnya ia selamat, karena ia terus
mendekatkan diri kepada Tuhannya, yang ia yakini sebagai sumber pengabulan
hajatnya untuk bekerja. Jadi di titik mana kamu berada itu bukan hal penting,
namun seberapa jauh hubunganmu dengan penciptamu di titik itu, itulah titik
pentingnya.
"Maksudmu ada orang yang sudah menikah selamat, tapi ada juga
orang yang dengan status singlenya juga selamat. Tergantung apa yang dilakukan
pada masing-masing status tersebut. Begitu ya?” saya coba menegaskan.
Zen pun mengangguk, “Tapi ingat, menikah itu memiliki
beberapa keutamaan daripada tidak menikah,” zen melanjutkan.
“disisi lain, saya pun baru lewat satu tahun dari usia nabi
kita menikah, jadi mungkin masih wajar jika saya mengabaikan ‘penawaran’ dari
beberapa orang” kata Zen diakhiri dengan senyuman khasnya.
Saya pun ikut tersenyum, lalu saya menggodanya, “ terus,
bagaimana dengan syahwat, bukannya di usiamu sekarang hal itu sedang
menggelegak-gelegaknya?”
“Husssh, emangnya lahar menggelegak,” Zen memotong dan
melanjutkan, “pernikahan bukanlah obat untuk untuk mengelak dari maksiat
kemaluan seperti zina, itu adalah satu bentuk penyempurnaan tuntutan fithrah
manusia. Pasangan hidup adalah anugrah, ketentraman adalah anugrah, cinta
adalah anugrah, kasih adalah anugrah, sayang adalah anugrah, yang semuanya
adalah fithrah yang didambakan oleh setiap manusia, yang ingin mencinta dan
dicinta, ingin menyayangi dan disayangi. Namun apabila fitrah masih juga
dicemari oleh nafsu rendah, pernikahan
tidak akan mampu mencegah maksiat, hatta sampai empat istri sekalipun. Bahkan kita
sering mendengar seorang pria yang sudah beristri masih ‘jajan’ pula dengan
perempuan lain? Yang mampu mencegah zina adalah iman di hati dan fikiran.
Jika itu dicapai tanpa nikah pun seseorang itu mampu menjauhi maksiat. Puasa mampu
mencegah maksiat bukan karena tidak makan dan minum, namun karena keimanan
seseorang itu bertambah lalu kuatlah taqwa dan pikiran akhiratnya."
"Hidupku untuk hari ini sekaligus untuk akhiratku, aku
lakukan terus yang terbaik tiap hari, karena aku tidak tahu besok atau lusa aku
masih ada di sini atau sudah tiada. Sekarang momennya memanjakan orangtua, maka
ku khidmahkan diriku untuk itu. Walaupun jika sudah tiba waktunya nanti aku
menikah, mereka akan tetap menjadi perhatianku. Bukankah seorang laki-laki itu
sepanjang hidupnya untuk menomersatukan ibunya? Dan sisa umur perempuan setelah
menikah untuk menomersatukan suaminya? Ah... sungguh indah aturan islam ini,”
"Sungguh, den, saya tidak ingin menikah hanya karena dorongan
syahwat. Saya tidak ingin rumah tanggaku berjalan tanpa visi dan rentetan misi.
Visiku adalah bertemu Allah SWT dengan ridha dan diridhai, salah satu misinya
adalah berumah tangga. Namun ketika kita belum siap bekalnya, misi akan
mengaburkan visi,” kata zen.
“Kita mungkin masih melihat, seorang istri keluar tanpa
hijab, tanpa merasa berdosa. Begitupun suami tidak merasa bahwa itu
adalah bagian dari tanggung jawabnya. Ketidakpekaan seperti ini akibat kurang
ilmu. Bagi mereka yang penting nikah, setelah itu berjalanlah seperti air. Tidak
ada bengkeljasadi, apalagi ruhani di dalamnya.
Tidak sedikit, dengan adanya pernikahan, hidup seseorang
menjadi semerawut, shalat telat bahkan ditinggal, dengan alasan sibuk bekerja,
jadi berani menipu, membawa rizqi syubhat bahkan haram ke rumahnya, dan
lain-lain. Bahkan saya pernah dengar curhat bahwa dirinya sedang dalam ancaman
istrinya. Sungguh aku tidak habis pikir, kok ada dan bisa seorang istri
mengancam suaminya, ataupu sebaliknya seorang suami berlaku kasar kepada
istrinya? Dan jika ditanyakan alasannya, semua dilakukan dengan alasan untuk
keluarga. Mungkin jadi pertanyaan lanjutan, keluarga yang mana? Jawabannya,
keluarga yang aktivitasnya didasarkan pada hawa nafsu rendah tadi, keluarga
yang berstandarkan gengsi, bukan berstandarkan fungsi.
Untuk mengetahui fungsi masing-masing suami dan istri, tidak
ada jalan lain melainkan dengan ilmu yang telah dibawa sempurna oleh nabi kita,
Muhammad SAW, dan ilmu itu di dapat ketika kita mau belajar. Oleh karena itu
kupersiapkan ilmunya dari sekarang,” kata zen.
:Apalagi jika kita menghubungkannya dengan bagaiman
seharusnya mendidik anak, akan lebih kompleks lagi. Habib umar bin hafidz
pernah berkata bahwa setiap manusia memiliki kewajiban untuk menjelaskan kepada
yang lainnya ihwal amanat Allah yang harus diemban. Namun yang paling
berkewajiban dalam hal ini adalah orang tua terhadap anaknya”.
“amanat apa itu zen? Saya memotong.
“menjadi khalifah di muka bumi den. Habib umar melanjutkan
bahwa, jika setiap orang tua mengajari anaknya dan mempersiapkan diri mereka
untuk memikul amanat ini, dunia akan menjadi tentram dan aman, karena rahmat
Allah akan diturunkan kepada mereka. Nah, bagaimana bisa seorang anak mengerti
apa arti amanat penciptaannya jika orangtuanya sendiri mengabaikan hal itu?”
“sungguh rumah tangga itu ibarat surga bocor. Surga belum surga sebenarnya. Karena allah SWT telah berfirman bahwa istri-istri itu
diciptakan supaya kita tentram. Jika dalam sebuah pernikahan kita tidak
menemukan nilai-nilai surga, ada yang perlu di koreksi di dalamnya.
Istri yang kita nikahi nanti tidaklah semulia khadijah,
tidaklah setakwa aisyah, dan tidak setabah Fatimah. Justru istri hanyalah
wanita akhir zaman yang harus punya cita-cita nmenjadi shalihah. Dan kusadari
juga, diriku bukan Muhammad bin Abdullah, bukan pula Ali bin Abi thalib. Aku hanyalah
laki-laki yang sedang belajar mengenali dan mencintai kepribadian merekayang
mulia, dan berharap ketika aku menikah akan dipasangkan dengan pasangan yang
sedang berusaha pula mendekati kepribadian mereka, wanita termulia.
Oh iya, aku punya joke tentang ini” kata zen.
“apa itu?” aku langsung sumringah dan penasaran setelah dari
tadimendengar ucapan-ucapannya yang begitu dalam.
“jadi ini tentang dialog si A dan saya ya” kata zen sambil
senyum-senyum.
A: “Zen, mau nikah ya?”
Zen: “Insya allah maulah, kan sunnah Rasulullah”.
A:”sudah punya calon?”
Zen: “Alhamdulillah sudah”
A: “ siapa dia?”
Zen: “insya Allah dia adalah perempuan pilihan allah”
A: “mengapa mau nikah sama dia?”
Zen: “”insya allah memilih dia karena allah”
A: “bagaimana nanti ketemunya?””
Zen: “yakin saja, allah punya cara yang tidak pernah kita
duga. Percaya saja sama allah.”
A: “lah kapan dong nikahnya?”
Zen: Hmmm… allah mahatahu kok kapan waktu yang tepat dan
terbaik”
A: “terus dimana ketemunya?”
Zen: “ tenang… masih di bumi Allah kok, kalau toh memang
tidak di dunia insya allah di surga-Nya”
A: “jadi…”
Zen: “serahkan kepada allah saja, niatka untukmenggapai
ridha-Nya semata. Insya allah beres”
“whahahhaha…” aku langsung tertawa mendengarnya. “zen… zen…
ada-ada saja. Sungguh aku emndapat pengalaman baru. Terima kasih zen.