assalamualaikum wr wb
kali ini aku mau mempublikasikan kisah seseorang syarifah yang kejadiannya hampir hampir mirip, dan pemikiran yang sama tentang hal ini. yuk di simak..
Kali ini aku ingin mengungkap sedikit kisahku, kisah hidupku. Aku menulis ini di tengah malam setelah berkali-kali membaca informasi yang ku dapat dari Internet mengenai kisahku ini. Aku mengungkap kisahku ini, tanpa sedikitpun niat menjadi mungkar, kufur, kafir, atau mendustakan Rasulullah SAW. Kisahku ini ku tulis secara subyektif, menurut apa yang aku jalani dan aku rasakan serta sepengetahuanku yang tidaklah banyak. Hal ini ku jelaskan, agar kalian para pembaca, para habib, ulama dan sayid/sayiddah yang berilmu aku yakini lebih dariku membenarkan atau memberi kritik yang membangun serta memaklumi aku yang awam ini dalam mengungkap masalah ini.
Sebenarnya, masalah ini telah lama mendera ku sebagai seorang wanita, namun tiada berdaya aku mengungkapkannya. Namun di malam ini aku merasa perlu menunjukan dan memberikan sedikit kisahku, membuang jauh-jauh label tabu pada masalahku ini. Mungkin banyak diantara kalian yang belum pernah mendengar atau mengetahui mengenai masalah yang akan ku bahas ini, karena mungkin masalah ini hanya hadir pada segelintir orang, atau terlintas pada pikiran beberapa ahli nasab dan agama.
Pernahkah kalian mendengar mengenai seorang Syarifah dan Sayyid?
Ya, bila kalian mengetahuinya tentu kalian telah mengetahui apa yang akan ku ceritakan ini. Syarifah adalah panggilan bagi anak cucu perempuan Rasulullah SAW, sedang Sayyid atau Syarif adalah panggilan bagi anak cucu laki-laki Rasulullah SAW. Aku, adalah salah satu syarifah (Atau setidaknya begitulah yang aku ketahui, dan ditanamkan kepadaku sejak kecil), aku terbiasa dengan identitas secara syarifah, yakni penyebutan 3 generasi ashobahku (atau biasa di kenal dengan Binti atau Bin).
Sungguh, aku tiada mendustakan kenikmatan menyanding gelar cucu Rasul. Kenikmatan yang begitu aku rasakan, tidak ku pungkiri pula adanya rasa kebanggaan dalam diri ini menyanding gelar syarifah ( dirumah biasa di panggil Wan Ifah ). Karena sedari kecil ku diperkenalkan dengan keutamaan-keutamaan menjadi anak cucu Rasul yang dicintai Allah SWT. Aku besar di keluarga ba'alwy, atau mungkin sebagian besar kalian mengenalnya sebagai keluarga arab (Sebenarnya tidak semua arab itu sayyid atau syarifah).
Kebahagiaan itu sampailah pada hari dimana aku menyadari aku telah beranjak dewasa, dari sinilah keluargaku mulai mendidikku sebagaimana mendidik seorang syarifah (katanya). Mulai dari mengawasi pergaulanku, tidak serta merta membebaskanku keluar rumah tanpa sebab, atau kah tidak mengijinkanku keluar dari rumah hanya untuk bermain dengan kawan-kawan sebayaku. Jangankan begitu, untuk keluar di malam hari saja rasanya haram bagiku.
Namun, ku akui keluarga ku tidaklah sepenuhnya salah. Justru aku bersyukur karena didikan inilah aku menyadari begitu indahnya wanita untuk dijaga. Baik lisan, kelakuan maupun fisiknya. Kala ayahku (baca: Abi / Abuyah) meninggalkan aku untuk menghadap Allah SWT, sepeninggal itu aku begitu menyadari didikan ayahku sangatlah berarti. Dengan penuh penyesalan, sampai dengan hari ini pun aku masih menyesal selama hidup ayahku aku selalu memberontak. Meskipun ku akui dalam pandanganku, tidak sepenuhnya benar mendidik seorang anak begitu kerasnya dan menghindarkannya dari dunia sosial dan pendidikan, namun over all pendidikan ayahku ini bertujuan menjagaku dari dunia luar karena aku adalah putri kecilnya yang sangat ia sayangi. Akulah syarifah satu-satunya dari nasabnya. Sehingga ia begitu ingin melindungiku.
Aku menyadari ayahku begitu mencintai aku sebagai putrinya saat aku teringat dibalik kerasnya ayahku mendidikku dan membedakanku dengan wanita-wanita lain sebayaku, ayahku selalu tanpa terkecuali menuruti keinginan dan mencukupi segala kebutuhanku baik itu penting maupun tidak penting, baik yang ku minta secara jujur maupun secara berbohong (Jangan salahkan saya, tiada dari kalian yang tidak pernah berbohong bukan?). Mohon ampun kepada Allah atas apa yang pernah saya lakukan.
Hingga kini saya berdiri,
Sepeninggal ayah, berdirilah aku dan ibuku (baca: Mama / Umma) serta kedua kakakku yang sibuk bukan main dengan pekerjaan dan kehidupan mereka masing-masing. Aku pun tiada menyalahkan, karena mereka laki-laki dan aku begitu pahamnya dengan kewajiban yang harus mereka emban. Namun bagaimana dengan aku? Aku masihlah anak remaja (ABG) yang masih sangat membutuhkan bimbingan, masih salah menentukan benar dan salah, hak dan bathil, atau yang aku butuhkan dan aku inginkan. Ibuku masih sibuk dengan segala masalah yang mendera sepeninggal ayah, tiada lagi sumber ekonomi untuk mencukupi kehidupan, warisan yang di perdebatkan dengan keluarga, perhitungan beberapa pinjaman yang belum sempat dibayarkan oleh ayah, serta masih banyak lagi.
Ibuku adalah wanita pribumi, seorang dari suku jawa. Tiada ia seorang syarifah kecuali dinikahi oleh ayahku yang sayyid. Sepeninggal ayah, maka kehidupan kami yang biasa berbaur dengan ba'alwy (kaum-kaum arab) pun berbeda, kami mulai jarang berbaur, apalagi fitnah-fitnah serta perdebatan warisan yang muncul membuat kami harus mengasingkan diri. Tidak berarti kami memutus silaturahmi, namun apalah artinya seorang pribumi seperti ibuku di mata mereka (ini kisah tersendiri). Wal hasil, sampailah pada keluarga kami yang jauh dari pergaulan sayyid dan sayyidah yang lain.
Hari demi hari berlalu,
Sampailah aku berlari di hari-hari itu dengan berbagai pesan dari tetuah-tetuah keluargaku mengenai Kafaah Syarifah. Adakah dari kalian yang pernah mendengarnya? Kafaah dalam bahasa indonesia berarti kesepadanan. Kafaah syarifah secara blak-blakan aku paparkan sebagai keharusan seorang syarifah menikah dengan kaumnya, yakni sayyid atau syarif. Sedang sayyid bebas menentukan pendamping hidupnya, karena ashabahnya kepada laki-laki kecuali Fatimah r.a. Anda nilai tidak adil? Nilailah sendiri.
Aku ini tidaklah berilmu pandai, tidak pula pintar mengatur kata. Mohon maafkanlah bila apa yang aku sampaikan secara subyektif ini ialah suatu salah besar.
Aku beranjak dewasa, dan kini sampailah di umurku yang telah berkepala dua. Maka tidaklah malu lagi bila di umurku ini aku dan keluargaku telah berfikir mengenai pendamping hidup. Namun aku di hadapkan pada keadaan ini, dan aku adalah seorang syarifah. Wajib bagiku (katanya) meneruskan nasab Rasul.
Sedang aku dan keluarga tiada mengenal laki-laki sayyid, apalagi mengetahui ahlak, kelakuan dan lain sebagainya darinya. Bilapun datang laki-laki sayyid melamar, entah apa yang akan ku jawab. Haruskah aku hanya melihatnya sebagai anak cucu Rasul? Sementara aku tidak sedikitpun tahu bagaimana dia beriman, berprilaku, bertaqwa. Pendidikan dan pekerjaan merupakan kriteria tersendiri dariku untuk memilih pendamping. Karenanya entah syaittan yang mendorong ku ataukah memang jalan suratan, aku tidak pernah mengenal satupun sayyid dalam hidupku secara personal, kecuali ia saudaraku sendiri dari ayah.
Aku kebingungan setengah mati di umurku yang mendekati kematangan ini, aku sungguh tiada mendustakan nikmat menjadi syarifah dengan segala keutamaan. Namun bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini.
Seakan waktu mempertemukan,
Aku beberapa kali mengenal laki-laki akhwal secara personal, bahkan secara jujur aku katakan aku berpacaran dengan laki-laki akhwal hingga saat ini. Namun sekarang keraguan selalu menyergap setiap kali ku kembali mendengar kata syarifah (Sudah lama kata itu tidak ku dengar apalagi pembahasan mengenai kafaah syarifah ini dari keluarga, hingga kadang aku lupa aku ini seorang syarifah dengan segala kewajibannya). Ketakutan menyergapku dan menghantui dengan panasnya api neraka dan berpalingnya Ummi Fatimah dari pandanganku, serta hilangnya safa'at Rasul.
Namun, apalah daya ku.
Aku terlanjur jatuh hati pada laki-laki akhwal, yang ku nilai baik iman dan akhlaknya, bertaqwa, mampu membimbingku dan menyadarkanku. Apakah dengan gelar seorang Sayyid menjadikannya lebih baik dari akhwal biasa? berkali-kali kalimat ini berputar-putar di kepalaku ketika aku mulai membicarakan hal-hal serius dengan akhwal mengenai kelanjutan hubungan kami.
Apakah hukum bagi seorang syarifah menerima pinangan dari akhwal biasa?
Apakah hukum bagi laki-laki bukan sayyid menikahi syarifah?
Banyak sekali aku membaca mengenai pertanyaan diatas, karena ketakutanku akan banyak hal, serta yang utama ketakutanku membuat laki-laki yang menikahiku menjadi mungkar, kafir, dan lain sebagainya hanya karena mencintai aku dan menikahi aku sebagai sunnahnya menjalani agama. Ketakutanku, berlanjut dengan pernyataan tidak sahnya syarifah menikah dengan yang non sayyid, sedang niatku ingin menikah adalah menjauhkan diri dari perbuatan zina.
Aku pernah membaca,
Dibolehkannya seorang syarifah menikah dengan yang bukan sayyid asal syarifah itu dan walinya ridho, namun siapa wali disini? Akankah itu menjadi abangku (pengganti ayahku) ataukah itu semua dzuriyatt di dunia ini? Sedang, kita ketahui bersama bagaimana sulitnya menemui dan meminta izin menikahi seorang syafirah kepada seluruh dzuriyat di dunia ini (Bagaimana mungkin?)
Lalu bilakah itu hanya abangku, maka sedikit lega hatiku ini. Karena menurutku, keluarga intiku, yakni mama dan kakakku, tidaklah begitu mempersoalkan masalah kafaah syarifah ini. Namun bilakah itu seluruh Dzuriyat di dunia maka tidak lagi ada harapan bagiku kecuali itu menentang agama yang ku cintai.
Sungguh kebimbangan yang amat mendera ku.
Aku membaca Habib Mundzir dari Majelis Rasulullah SAW menulis, jumlah sayyidah/syarifah lebih banyak dibanding sayyid/syarif. Seorang syarifah memiliki tiga pilihan jalan hidup, yakni menikah dengan sayyid, bersedia di poligami oleh seorang sayyid atau menikah dengan yang bukan sayyid. Bagaimana pendapat anda mengenai ini? Jawablah dari hati masing-masing. Akan dikemanakan syarifah-syarifah yang tidak menemukan sayyid yang pas ataukah tidak bersedia di madu ini? Adakah tidak menikah itu lebih baik bila syarifah ini tidak bersedia di poligami atau tidak menemukan sayyid yang pas baginya? Sedang menikah adalah sunnah Rasul.
Dari hati kalian, yang membaca ini. Bagaimana aku harus melangkah?
Sedang menurutku,
Entah syaitan mana merasukiku, maafkan bila aku menyakiti hati para sayyid. Namun, aku ingin mengutarakan isi hati.
Mungkinkah aku ini tipe perempuan pembangkang takdir, bila ku ungkapkan kekesalan ku dengan kebebasan sayyid memilih wanita yang bukan syarifah? Sedang seorang syarifah dengan segala keterbatasan harus menikah dengan sayyid?
Lalu, bukankah semua orang sama yang membedakan hanya taqwa orang tersebut? Lalu apakan dia, sayyid, lebih baik taqwanya dari akhwal yang bertaqwa?
Mungkin tidak semua sayyid, banyak pula sayyid yang baik dan berpendidikan. Namun dari sekitaran keluargaku jarang sekali ku temui sayyid yang berpendidikan benar, berprilaku baik, dan bertaqwa dengan baik.
Sedang akhwal yang ku temui ini menurut aku secara subyektif baik iman, taqwa dan prilakunya. Berpendidikan dan dari keluarga akhwal yang baik pula. Pekerjaannya dan potensinya pun baik.
Ampuni aku ya Allah atas kelancanganku ini mengungkapkan kekesalanku.
abis baca cerita ini aku ngerasain banget apa yang dia rasakan, yaallah sesungguhnya ini adalah nikmatmu yang tidak pantas untuk kami dustakan..
kali ini aku mau mempublikasikan kisah seseorang syarifah yang kejadiannya hampir hampir mirip, dan pemikiran yang sama tentang hal ini. yuk di simak..
Kali ini aku ingin mengungkap sedikit kisahku, kisah hidupku. Aku menulis ini di tengah malam setelah berkali-kali membaca informasi yang ku dapat dari Internet mengenai kisahku ini. Aku mengungkap kisahku ini, tanpa sedikitpun niat menjadi mungkar, kufur, kafir, atau mendustakan Rasulullah SAW. Kisahku ini ku tulis secara subyektif, menurut apa yang aku jalani dan aku rasakan serta sepengetahuanku yang tidaklah banyak. Hal ini ku jelaskan, agar kalian para pembaca, para habib, ulama dan sayid/sayiddah yang berilmu aku yakini lebih dariku membenarkan atau memberi kritik yang membangun serta memaklumi aku yang awam ini dalam mengungkap masalah ini.
Sebenarnya, masalah ini telah lama mendera ku sebagai seorang wanita, namun tiada berdaya aku mengungkapkannya. Namun di malam ini aku merasa perlu menunjukan dan memberikan sedikit kisahku, membuang jauh-jauh label tabu pada masalahku ini. Mungkin banyak diantara kalian yang belum pernah mendengar atau mengetahui mengenai masalah yang akan ku bahas ini, karena mungkin masalah ini hanya hadir pada segelintir orang, atau terlintas pada pikiran beberapa ahli nasab dan agama.
Pernahkah kalian mendengar mengenai seorang Syarifah dan Sayyid?
Ya, bila kalian mengetahuinya tentu kalian telah mengetahui apa yang akan ku ceritakan ini. Syarifah adalah panggilan bagi anak cucu perempuan Rasulullah SAW, sedang Sayyid atau Syarif adalah panggilan bagi anak cucu laki-laki Rasulullah SAW. Aku, adalah salah satu syarifah (Atau setidaknya begitulah yang aku ketahui, dan ditanamkan kepadaku sejak kecil), aku terbiasa dengan identitas secara syarifah, yakni penyebutan 3 generasi ashobahku (atau biasa di kenal dengan Binti atau Bin).
Sungguh, aku tiada mendustakan kenikmatan menyanding gelar cucu Rasul. Kenikmatan yang begitu aku rasakan, tidak ku pungkiri pula adanya rasa kebanggaan dalam diri ini menyanding gelar syarifah ( dirumah biasa di panggil Wan Ifah ). Karena sedari kecil ku diperkenalkan dengan keutamaan-keutamaan menjadi anak cucu Rasul yang dicintai Allah SWT. Aku besar di keluarga ba'alwy, atau mungkin sebagian besar kalian mengenalnya sebagai keluarga arab (Sebenarnya tidak semua arab itu sayyid atau syarifah).
Kebahagiaan itu sampailah pada hari dimana aku menyadari aku telah beranjak dewasa, dari sinilah keluargaku mulai mendidikku sebagaimana mendidik seorang syarifah (katanya). Mulai dari mengawasi pergaulanku, tidak serta merta membebaskanku keluar rumah tanpa sebab, atau kah tidak mengijinkanku keluar dari rumah hanya untuk bermain dengan kawan-kawan sebayaku. Jangankan begitu, untuk keluar di malam hari saja rasanya haram bagiku.
Namun, ku akui keluarga ku tidaklah sepenuhnya salah. Justru aku bersyukur karena didikan inilah aku menyadari begitu indahnya wanita untuk dijaga. Baik lisan, kelakuan maupun fisiknya. Kala ayahku (baca: Abi / Abuyah) meninggalkan aku untuk menghadap Allah SWT, sepeninggal itu aku begitu menyadari didikan ayahku sangatlah berarti. Dengan penuh penyesalan, sampai dengan hari ini pun aku masih menyesal selama hidup ayahku aku selalu memberontak. Meskipun ku akui dalam pandanganku, tidak sepenuhnya benar mendidik seorang anak begitu kerasnya dan menghindarkannya dari dunia sosial dan pendidikan, namun over all pendidikan ayahku ini bertujuan menjagaku dari dunia luar karena aku adalah putri kecilnya yang sangat ia sayangi. Akulah syarifah satu-satunya dari nasabnya. Sehingga ia begitu ingin melindungiku.
Aku menyadari ayahku begitu mencintai aku sebagai putrinya saat aku teringat dibalik kerasnya ayahku mendidikku dan membedakanku dengan wanita-wanita lain sebayaku, ayahku selalu tanpa terkecuali menuruti keinginan dan mencukupi segala kebutuhanku baik itu penting maupun tidak penting, baik yang ku minta secara jujur maupun secara berbohong (Jangan salahkan saya, tiada dari kalian yang tidak pernah berbohong bukan?). Mohon ampun kepada Allah atas apa yang pernah saya lakukan.
Hingga kini saya berdiri,
Sepeninggal ayah, berdirilah aku dan ibuku (baca: Mama / Umma) serta kedua kakakku yang sibuk bukan main dengan pekerjaan dan kehidupan mereka masing-masing. Aku pun tiada menyalahkan, karena mereka laki-laki dan aku begitu pahamnya dengan kewajiban yang harus mereka emban. Namun bagaimana dengan aku? Aku masihlah anak remaja (ABG) yang masih sangat membutuhkan bimbingan, masih salah menentukan benar dan salah, hak dan bathil, atau yang aku butuhkan dan aku inginkan. Ibuku masih sibuk dengan segala masalah yang mendera sepeninggal ayah, tiada lagi sumber ekonomi untuk mencukupi kehidupan, warisan yang di perdebatkan dengan keluarga, perhitungan beberapa pinjaman yang belum sempat dibayarkan oleh ayah, serta masih banyak lagi.
Ibuku adalah wanita pribumi, seorang dari suku jawa. Tiada ia seorang syarifah kecuali dinikahi oleh ayahku yang sayyid. Sepeninggal ayah, maka kehidupan kami yang biasa berbaur dengan ba'alwy (kaum-kaum arab) pun berbeda, kami mulai jarang berbaur, apalagi fitnah-fitnah serta perdebatan warisan yang muncul membuat kami harus mengasingkan diri. Tidak berarti kami memutus silaturahmi, namun apalah artinya seorang pribumi seperti ibuku di mata mereka (ini kisah tersendiri). Wal hasil, sampailah pada keluarga kami yang jauh dari pergaulan sayyid dan sayyidah yang lain.
Hari demi hari berlalu,
Sampailah aku berlari di hari-hari itu dengan berbagai pesan dari tetuah-tetuah keluargaku mengenai Kafaah Syarifah. Adakah dari kalian yang pernah mendengarnya? Kafaah dalam bahasa indonesia berarti kesepadanan. Kafaah syarifah secara blak-blakan aku paparkan sebagai keharusan seorang syarifah menikah dengan kaumnya, yakni sayyid atau syarif. Sedang sayyid bebas menentukan pendamping hidupnya, karena ashabahnya kepada laki-laki kecuali Fatimah r.a. Anda nilai tidak adil? Nilailah sendiri.
Aku ini tidaklah berilmu pandai, tidak pula pintar mengatur kata. Mohon maafkanlah bila apa yang aku sampaikan secara subyektif ini ialah suatu salah besar.
Aku beranjak dewasa, dan kini sampailah di umurku yang telah berkepala dua. Maka tidaklah malu lagi bila di umurku ini aku dan keluargaku telah berfikir mengenai pendamping hidup. Namun aku di hadapkan pada keadaan ini, dan aku adalah seorang syarifah. Wajib bagiku (katanya) meneruskan nasab Rasul.
Sedang aku dan keluarga tiada mengenal laki-laki sayyid, apalagi mengetahui ahlak, kelakuan dan lain sebagainya darinya. Bilapun datang laki-laki sayyid melamar, entah apa yang akan ku jawab. Haruskah aku hanya melihatnya sebagai anak cucu Rasul? Sementara aku tidak sedikitpun tahu bagaimana dia beriman, berprilaku, bertaqwa. Pendidikan dan pekerjaan merupakan kriteria tersendiri dariku untuk memilih pendamping. Karenanya entah syaittan yang mendorong ku ataukah memang jalan suratan, aku tidak pernah mengenal satupun sayyid dalam hidupku secara personal, kecuali ia saudaraku sendiri dari ayah.
Aku kebingungan setengah mati di umurku yang mendekati kematangan ini, aku sungguh tiada mendustakan nikmat menjadi syarifah dengan segala keutamaan. Namun bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini.
Seakan waktu mempertemukan,
Aku beberapa kali mengenal laki-laki akhwal secara personal, bahkan secara jujur aku katakan aku berpacaran dengan laki-laki akhwal hingga saat ini. Namun sekarang keraguan selalu menyergap setiap kali ku kembali mendengar kata syarifah (Sudah lama kata itu tidak ku dengar apalagi pembahasan mengenai kafaah syarifah ini dari keluarga, hingga kadang aku lupa aku ini seorang syarifah dengan segala kewajibannya). Ketakutan menyergapku dan menghantui dengan panasnya api neraka dan berpalingnya Ummi Fatimah dari pandanganku, serta hilangnya safa'at Rasul.
Namun, apalah daya ku.
Aku terlanjur jatuh hati pada laki-laki akhwal, yang ku nilai baik iman dan akhlaknya, bertaqwa, mampu membimbingku dan menyadarkanku. Apakah dengan gelar seorang Sayyid menjadikannya lebih baik dari akhwal biasa? berkali-kali kalimat ini berputar-putar di kepalaku ketika aku mulai membicarakan hal-hal serius dengan akhwal mengenai kelanjutan hubungan kami.
Apakah hukum bagi seorang syarifah menerima pinangan dari akhwal biasa?
Apakah hukum bagi laki-laki bukan sayyid menikahi syarifah?
Banyak sekali aku membaca mengenai pertanyaan diatas, karena ketakutanku akan banyak hal, serta yang utama ketakutanku membuat laki-laki yang menikahiku menjadi mungkar, kafir, dan lain sebagainya hanya karena mencintai aku dan menikahi aku sebagai sunnahnya menjalani agama. Ketakutanku, berlanjut dengan pernyataan tidak sahnya syarifah menikah dengan yang non sayyid, sedang niatku ingin menikah adalah menjauhkan diri dari perbuatan zina.
Aku pernah membaca,
Dibolehkannya seorang syarifah menikah dengan yang bukan sayyid asal syarifah itu dan walinya ridho, namun siapa wali disini? Akankah itu menjadi abangku (pengganti ayahku) ataukah itu semua dzuriyatt di dunia ini? Sedang, kita ketahui bersama bagaimana sulitnya menemui dan meminta izin menikahi seorang syafirah kepada seluruh dzuriyat di dunia ini (Bagaimana mungkin?)
Lalu bilakah itu hanya abangku, maka sedikit lega hatiku ini. Karena menurutku, keluarga intiku, yakni mama dan kakakku, tidaklah begitu mempersoalkan masalah kafaah syarifah ini. Namun bilakah itu seluruh Dzuriyat di dunia maka tidak lagi ada harapan bagiku kecuali itu menentang agama yang ku cintai.
Sungguh kebimbangan yang amat mendera ku.
Aku membaca Habib Mundzir dari Majelis Rasulullah SAW menulis, jumlah sayyidah/syarifah lebih banyak dibanding sayyid/syarif. Seorang syarifah memiliki tiga pilihan jalan hidup, yakni menikah dengan sayyid, bersedia di poligami oleh seorang sayyid atau menikah dengan yang bukan sayyid. Bagaimana pendapat anda mengenai ini? Jawablah dari hati masing-masing. Akan dikemanakan syarifah-syarifah yang tidak menemukan sayyid yang pas ataukah tidak bersedia di madu ini? Adakah tidak menikah itu lebih baik bila syarifah ini tidak bersedia di poligami atau tidak menemukan sayyid yang pas baginya? Sedang menikah adalah sunnah Rasul.
Dari hati kalian, yang membaca ini. Bagaimana aku harus melangkah?
Sedang menurutku,
Entah syaitan mana merasukiku, maafkan bila aku menyakiti hati para sayyid. Namun, aku ingin mengutarakan isi hati.
Mungkinkah aku ini tipe perempuan pembangkang takdir, bila ku ungkapkan kekesalan ku dengan kebebasan sayyid memilih wanita yang bukan syarifah? Sedang seorang syarifah dengan segala keterbatasan harus menikah dengan sayyid?
Lalu, bukankah semua orang sama yang membedakan hanya taqwa orang tersebut? Lalu apakan dia, sayyid, lebih baik taqwanya dari akhwal yang bertaqwa?
Mungkin tidak semua sayyid, banyak pula sayyid yang baik dan berpendidikan. Namun dari sekitaran keluargaku jarang sekali ku temui sayyid yang berpendidikan benar, berprilaku baik, dan bertaqwa dengan baik.
Sedang akhwal yang ku temui ini menurut aku secara subyektif baik iman, taqwa dan prilakunya. Berpendidikan dan dari keluarga akhwal yang baik pula. Pekerjaannya dan potensinya pun baik.
Ampuni aku ya Allah atas kelancanganku ini mengungkapkan kekesalanku.
abis baca cerita ini aku ngerasain banget apa yang dia rasakan, yaallah sesungguhnya ini adalah nikmatmu yang tidak pantas untuk kami dustakan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar